Prologue : Indonesia 2046

“Semua maju!! Pertahankan jarak 1 km dari pusat kota!!” terdengar teriakan keras dari salahsatu orang yang berpakaian layaknya militer.

Terdengar suara gencatan senjata di setiap sudut kota. Tampak terlihat sekumpulan orang yang bergerak menyerang pasukan pertahanan kota.

“Jangan sampai mereka merebut kota ini!! Perhatikan di setiap tempat!! Jangan sampai ada satu pun yang berhasil masuk!!!” lanjut sang pria besar berseragam militer tersebut, memerintahkan pasukan untuk tetap waspada.

Tapi, tanpa mereka sadari. Ada salahsatu orang dari kubu musuh yang berhasil menyelinap.

Dan tak lama kemudian..

“The enemy has been captured eJakarta city”

Terpampang jelas tulisan hologram diatas pusat kota.

Musuh telah berhasil merebut kota.

Tampilan waktu mundur muncul dibawah tulisan tersebut. Pertanda pasukan pertahanan akan dipindahkan ke kota lain.

Terlihat jelas wajah para pasukan pertahanan yang sedih, kecewa, dan marah. Tapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa, selain pasrah dan memikirkan strategi untuk merebut kota itu kembali.


Dunia telah berubah, jaman sudah modern dengan segala gedung pencakar langit.

Begitu juga di Indonesia.

Dari Sabang sampai Merauke, perkembangan Indonesia semakin pesat sejak 20 tahun lalu. Sejak saat itu, infrastrukur semakin maju. Di mulai dari transportasi yang mudah antar kota, bahkan antar pulau dengan adanya jembatan yang di bangun menyatukan pulau-pulau di Indonesia.

Di suatu sudut kota yang belum seluruhnya terjamah modernisasi, terdapat suatu bangun sekolah yang masih terlihat sederhana.

Suasana kelas terasa begitu hening. Mata-mata para siswa menatap ke satu arah, papan tulis yang kini sudah hampir penuh oleh angka dan simbol matematika. Papan tulis putih itu terlihat begitu menjemukan. Seorang pria yang sudah mulai terlihat tua karena usia masih sibuk menambahkan tulisan angka-angka di papan sambil mulutnya bergerak-gerak menjelaskan apa yang ia tuliskan.

Sementara seorang remaja lelaki sibuk dengan dunianya sendiri. Dunia yang ia bangun di dalam kepalanya yang selalu tertutup hoodie. Dunianya yang bising dipenuhi oleh pemikiran-pemikirannya sendiri sehingga suara dari dunia nyata hanya bagaikan suara hembusan angin. Ditatapnya kota di depannya dari balik jendela di pojok kelas, tempat kesukaannya. Di sini, dia bisa seolah melompat ke luar jendela menembus dunia luar, mengamati dengan seksama.

Seluruh siswa sibuk menyalin semua rumus yang dituliskan oleh sang guru. Goresan antara pensil dengan kertas terdengar sebagai decitan di telinga remaja lelaki itu. Sibuk. Semua sibuk. Dia pun sibuk, bahkan sangat sibuk. Melamun. Mereka bilang dia sedang melamun tak menentu arah. Termenung sambil menatap gedung-gedung tinggi pencakar langit yang terlihat jelas dari balik jendela tempat duduknya.

“Ah~ Kota ini, pasti sebentar lagi tidak akan seperti dulu lagi. Pohon-pohon sudah berganti dengan bangunan tinggi. Tidak akan ada lagi warna hijau yang menenangkan hati dan pikiran dari kejenuhan kegiatan sehari-hari.” Gumamnya lirih.

“Zeth!” terdengar seperti ada yang memanggilnya.

Abaikan – dia membatin.

“ZETH!!” suara itu terdengar lebih keras dan membuyarkan dunia dalam kepalanya.

“BRAAAKK!!” suara memanggilnya itu berganti dengan suara keras yang menghantam meja di depannya. Zeth, nama remaja lelaki itu, tersadar. Di balik hoodie yang menutupi wajahnya, dia pun mencoba melihat orang yang memukul meja tersebut. Pak guru.

“Zeth! Apa yang kamu pikirkan? Apakah kamu memperhatikan saya menjelaskan pelajaran? Maju ke depan, dan jawab soal di sana. SEKARANG!!” sambil menyibak hoodie anak muda di depannya, dia membentak.

Zeth sesaat terdiam, dari sudut matanya dia bisa melihat wajah sang guru yang memerah, telapak tangannya mengepal menahan geram. Ditariknya nafas panjang kemudian dia berjalan dengan gontai ke muka kelas. Ditatapnya soal di hadapannya.

f : x => 2 Sin x + cos 2x

f(45°) = …

“Cih.. soal seperti ini. Apa kelak berguna bagi setiap manusia? Mengapa setiap siswa harus dipaksa mengerti angka-angka di suasana membosankan seperti ini?” batinnya.

Dibukanya tutup spidol hitam yang diberikan oleh sang guru. Kemudian ditulisnya besar-besar.

√2

“Dia pikir aku sebodoh itu..!!” umpat Zeth dalam hati. Lalu Zeth membalikkan badannya dan berjalan menuju tempat duduknya.

“SALAH!” terdengar suara teriakan dari guru dibelakangnya.

“Apa?” Zeth menghentikan langkahnya, dahinya berkerut. “Apa yang salah dengan jawaban saya?” Dia menatap papan dan Pak guru bergantian.

“Salah! Pokoknya kamu salah! Kamu tidak memberikan penjelasan bagaimana cara menyelesaikan soal itu!” jelas sang guru.

“Bapak meminta saya untuk menjawab soal itu kan? Saya jawab. Salah saya di mana?” Protes Zeth.

“Ah.. anak pemalas seperti kamu mana mungkin mengerti apa yang saya mau! Kamu harus mengikuti cara saya!!”

“Apa? Harus??”

“Sudah!! Kembali duduk sana!! Areta, coba kamu kerjakan soal itu.”

“Baik, Pak!”

Areta Ileanna, gadis manis dan terpintar di kelas. Semua guru suka padanya. Senyumnya tidak pernah lepas dari wajah cantiknya. Dia sangat ramah kepada setiap orang. Banyak murid-murid yang mengaguminya. Karena selain kecantikannya, dia juga sangat pintar. Tapi tidak bagi Zeth. Baginya, semua orang sama saja. Mengapa harus tersenyum saat tidak suka? Mengapa harus menipu diri sendiri dan memaksa diri mengikuti apa yang orang lain minta. Sandiwara. Semua orang bertopeng manis.

f : x => 2 Sin x + cos 2x

f(45°) = …

Jawaban :

f(x) = 2 sin x + cos 2x

f(45°) = 2 sin (45°) + cos 2(45°)

= 2 sin 45° + cos 90°

= 2 . 1/2√2 + 0

= √2

“Benar sekali..! Kamu pintar Areta. Silahkan duduk.” puji sang guru. Areta pun kembali ketempat duduknya, dengan senyum tentu saja. Diliriknya Zeth yang sudah asyik sendiri menatap jendela sambil bertopang dagu dengan tangan kanannya.

“Lihat, Zeth! Seperti ini yang saya mau!” teriak sang guru kepada Zeth.

“Apa-apaan ini? Hasil akhirnya kan sama saja. Mengapa perlu menjelaskan prosesnya? Konyol sekali. Hanya karena tidak seperti yang dia mau, lalu jawabanku dibilang salah? Bagaimana mungkin orang-orang bisa bertahan berhadapan dengan manusia yang tidak berpikir logis seperti dia? Atau mungkin semua orang memang berpikiran sesempit? Membosankan sekali!!” Zeth hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap puncak-puncak menara gedung di hadapannya.

“Lihat! Dia kembali dengan kesibukannya! Melamun sepanjang waktu. Bagaimana mungkin anak pemalas dan bodoh seperti dia akan sukses? Dunia kita akan hancur jika seluruh manusia seperti dia. Kalian jangan meniru perilaku buruknya.” ucap sang guru kepada seluruh siswa di kelas.

“Bukan. Bukan manusia seperti aku yang akan menghancurkan dunia. Tapi mereka. Mereka yang menghancurkan hutan kota dengan rakusnya. Mereka yang menumbuhkan pohon-pohon beton yang mencakar langit. Bagaimana jika tak ada lagi pohon yang sanggup tumbuh? Bagaimana jika kelak alam murka?” pikiran Zeth melayang semakin jauh. Menunggu sinyal untuk menuju dunia barunya. Dunia yang membuatnya nyaman. Dunia yang menantang logiknya. Dunia baru yang terasa lebih nyata dari dunia nyata.

“KRIIIIIIIIIIIIIIINNNGGGG!!!”

Bel tanda pulang sekolah berbunyi.

“NGUUUNGGG… BZZZTT… BZZZTT…”

Suara dengung dan getaran dari telephone genggamnya berbunyi.

Sinyal itu telah datang, batinnya. Senyum tersungging di sudut bibirnya. Diselempangi ransel kesayangannya di pundak kirinya. Dia langkahkan kaki dengan mantap menuju pintu kelas sambil menggenggam barang yang ada di dalam kantung celananya.

“My world. I am coming!”

Leave a comment