The Last Word

Disuatu tempat, di pagi hari, dihari yang sama dengan “Love, Life, and Lie: Headache or Headache”

“Selamat pagi”
Sapaan itu terdengar dikepalaku. Apakah aku harus menjawabnya?

“Selamat pagi. Sepertinya kamu harus bangun lebih awal hari ini”
Lagi dan lagi hal ini selalu terjadi. Sapaan ini menyiksaku.

“Ayolah cepat cari caffeine biar aku bisa cepat pergi..!”
Dasar migrain sialan! Kau datang hanya untuk pergi..!

Migrain selalu datang setiap pagi, tepat di pelipis kiri-ku. Kadang sakitnya hanya denyutan urat disebelah mataku. Tapi kali ini berbeda. Sakit ini membuat mata kiri-ku ingin copot.

Aku mencoba untuk berdiri, tapi kaki ini tak kuat menahan. Sebelah kepala ini terasa sangat berat. Tampaknya aku tak bisa memaksa. Biarlah migrain ini menari-nari dikepalaku untuk beberapa saat lagi.

Wanita itu menyandarkan tubuhnya diranjang.

Sepertinya sakitnya mulai mengurang. Dia mulai pergi.

Sebentar!

Aku tahu ini hanya sementara.
Sakit ini sudah menjadi kebiasaanku setiap pagi.
Ini hanyalah tipu muslihatnya.
Jadi aku harus memanfaatkan hal ini dengan cepat.
Dapur, kopi, maker, Semua ada disana.

Cepat lari..

Penyaring, kopi, air.

Tiba-tiba urat dikepala seperti tertusuk. “Nyalakan!” seperti petir yang menyambar, migrain itu kembali untuk memintaku menyalakan Coffee Maker dihadapanku. Dia tau rencananya untuk bersembunyi akan berhasil. “Hahahahaha” migrain itu tertawa, layaknya pyscho yang sedang memegang pistol siap untuk menembak tepat dikepala.

Kembali wanita itu ke kasur dan menyandarkan tubuhnya.

“Migrain sialan! Tidak ada obat yang dapat mengusirnya. Caffeine pun hanya dapat menenangkannya sementara.” wanita itu geram kepada sakit yang selalu melandanya setiap pagi.

“Selamat pagi, sist. Apa kabarnya hari ini?” pesan singkat dari Evan.

“Not good, Van” wanita itu menjawab.

“Hmm. I see. Semangat yah, Sist!” balasnya.

Evan. My lovely brother. Beruntung dia sedang di Jakarta. Sepertinya aku harus menghubungi dia lagi nanti.


“Makan siang, Sist” pesan singkat itu terbaca di layar notif.

“Iya. Ini juga lagi makan kok, Van. Loe juga jangan lupa makan yah” bales wanita itu.

Sore menjelang, saatnya pulang.. “Ah! Evan! Aku ingat harus menghubungi dia” – pikirku dalam hati. 

“Kau isi hidupku dengan
Berjuta warna warni duniaa..
Oh.. semua… indah.. saat kita bersama
Oh.. semua… indah.. saat kita berduaaa..”

Telpon genggam Evan berbunyi.

“Sister”

Itulah nama yang tertera di layar.

Sister Sandrea. Ada apa yah? – batinnya. Evan menggeser layar, tanda menerima telpon masuk.

“Halo Evan!”
“Ada apa, sist?”
“Gw nitip beer lagi, yah”
“Owh, beer lagi?”
“Iyaa..”
“Kaya biasa?”
“Jelaslah..”
“Oke-oke.. Tapi agak malem yah.. Ketemu temen dulu nih..”
“Iya gapapa.. Atur aja, Van”
“Oke-oke.. Siappp..”

*tuttttt..tuttttt..tuttttt* pria diseberang sana menutup telponnya.


Ada pesan yang masuk di telpon genggam Sandrea, “Gw didepan kamar loe nih” itu lah pesan yang terbaca. “Masuk aja sih, ga dikunci..!!” Sandrea berteriak kepada pria dibalik pintu kamarnya.

“Semenjak gw disini, loe jadi sering minum, Sist. Apa emang loe jadi suka minum sekarang? Keliatannya loe stress banget yah.. Hahahaha..” Maksud ingin menyindir, Evan merasa khawatir dengan kebiasaan kakaknya. “Nih!” pria itu menyodorkan botol kepada kakaknya. “Emang gw punya pilihan laen? Engga khan?” sambil menenggak minuman ditangannya, “Ya iya sih. Hidup itu memang pilihan, tapi kadang kita ga harus memilih untuk tetap menjalani hidup. Ngerti kan?” Evan mencoba memberi semangat.

Wanita itu menaruh botol minuman dan membakar rokok ditangannya. “Tiap hari gw pura-pura ga ada apa-apa. Kadang ga kuat, nanggung sakit hati sama sakit kepala sekaligus. Gw cuma coba kerjain apa yang gw bisa kerjain.” sang kakak mencoba untuk menceritakan keadaannya. “Gw ga minta banyak kok. Cuma minta hargain aja apa yang udah gw kerjain. Ribet emang kalo udah kerja sama orang Bule. Hufftt..” gerutu kakaknya sambil asyik memainkan rokok ditangannya. “Ya elah kerjaan! Gw pikir apaan!! Ya udah sih, jalanin aja.. Gaji loe juga dollar, Sist!! Kurang apa sih? Jalanin aja dulu..” kesal Evan. “HAUHAUHAUHAUHAHUAHUAH” wanita itu tertawa terbahak-bahak.

“Gimana cewe loe?” Sandrea menghentikan tawanya. “Yang mana?” Evan balik bertanya “Huahahah gaya bener loe! Emang yang loe suka siapa? Eh, salah! Maksudnya yang loe sayang siapa? Suka mah, semua cewe juga loe suka!” Sandrea merasa kesal dengan jawaban adiknya itu. “Huahahahaha. Masi aja nanya. SI Angel, sist? Loe tau khan, gw udah coba berpaling, tapi tetep aja pikiran gw ke dia. Unpredictable. Complicated. Pusing gw. Gw ga tau apa yang dia pikirin sekarang.” jawab Evan sambil mengambil rokok didepannya. “Dih! Loe cari tau lah! Loe sih masi mending pusing mikirin cewe. Lah gw? Pusing setiap pagi cuma gara-gara mikirin kerjaan.” sindir wanita itu dan menyalakan korek api kearah Evan. “Iya. Ini gw juga lagi cari-cari tau dari temen deketnya. Sebenernya gw udah mentok, Sist. Gw mau pergi aja dari sini.” dengan sedikit menyondongkan kepalanya mendekati api.

“Kok loe nyerah, Van?” tanya Sandrea. “Gw ga nyerah, Sist. Gw cuma tau diri. Mendingan gw pergi, karena gw tau kehadiran gw ga diinginkan” sambil memainkan rokok ditangannya, pria itu menjawab. “Alah, gaya! Katanya cinta. Katanya sayang. Masa baru segitu aja udah mau pergi.” Sandrea kembali menyindir adiknya. Evan menaruh rokok nya ke asbak, lalu bersandar “Iya gw cinta. Tapi kalo dia ga mau, buat apaan?” dengan sedikit emosi. “Usaha donk, Van!! Loe kan cowo!” ucapan Sandrea memojokkan pria didepannya. “Ini juga gw lagi usahain, Sist. Gw udah tunjukin kalo gw peduli sama dia. Loe bisa baca nih pesan-pesan yang udah gw kirim ke dia.” pria itu mengambil telpon genggam miliknya dan memberikannya kepada Sandrea.

“Kok ga ada satupun yang dibales, Van? Kasian amat loe. Huahahaha” wanita itu sedikit bercanda. “Eh tapi ini ada pesen dari temen loe klo loe mau ketemuan sama dia?” lanjutnya. “Iya. Itu temen deketnya. Dia yang atur. Besok gw bakalan ketemu dia buat yang terakhir kalinya” jelas Evan.

“Nah! Bagus donk! Loe yang selalu kasi gw semangat, masa loe sendiri nyerah sih! Ayolah jangan nyerah!” Sandrea mengembalikan telpon genggam kepada Evan. “Ya itu dia. Gw bingung, Sist. Doain aja yang terbaik, yah. Besok gw bakal ngeliat muka dia untuk terakhir kalinya. Setelah itu, gw akan coba tanya terus kabarnya ke temen deketnya”

“Dah yah gw balik. Dah abis juga beer nya”
“Ah loe beli juga cuma satu! Mana cukup!”
“Huahahah.. Ya next time gw beli lebih”
“Huahahah.. Ya udah ati-ati loe!”


Sebulan Kemudian


Pria itu bersandar di bumper mobil bagian belakang, “Sorry yah Rhe kalo gw ada salah. Sebentar lagi gw pergi. Mungkin buat selamanya. Tapi sampe saat ini, gw blom juga tau kabar dia sama sekali. Itu yang bikin gw ga logis dalam berucap. Sorry yah.” Evan menyesali apa yang sudah dia lakukan. “Ah gpp kok, Van. Dia gpp kok. Loe tenang aja.” gadis itu mencoba menenangkan. “Bukan masalah itu, Rhe. Gw cuma mau tau perasaan dia ke gw.”

“Rhea?” seorang wanita menepuk pundaknya. Rhea menoleh, “Eh, Tante.” Rhe membalikkan badannya dan menemukan bahwa yang menepuk pundaknya adalah ibu nya Evan. “Sebentar yah, Rhe.” bergegas wanita itu ke mobil dan mengambil tas di dalam mobil tersebut. “Kamu sedang apa, Rhe? Kamu temannya Angel, kan? Ayo ikut tante ke dalam. Tante mau meminta tolong ke kamu” ajak wanita itu. “Tapi, Tan…” Rhea kebingungan, mencari-cari pria yang bicara dengannya tadi. “Nanti tante beritahu setelah kita sampai di ruang ICU” jelas wanita itu. Rhea hanya bisa pasrah, tapi terlintas dipikirin dia “ICU?”

Sesampainya di sana. Rhea melihat seorang wanita dan anak kecil diruang tunggu. Sister Sandrea, kakaknya Evan. Dan adik kecilnya – Rhea mengenali mereka. “Halo, Rhe!” wanita itu menyapa. “Halo, kak!” jawabnya singkat sambil berlalu, karena dia harus mengikuti langkah wanita didepannya.

Wanita itu menghentikan langkahnya tepat didepan kaca besar. Rhea ikut berhenti, dia melihat seorang pria yang tertidur dikasur dan banyak selang yang tersambung ke tubuhnya dibalik kaca besar dihadapannya.

Rhea menunjuk, “Itu…” belum selesai Rhea bicara, “Itu Evan. Dia sudah 3 hari ini koma..” wanita disampingnya memotong pembicaraan “..dia punya penyakit radang selaput otak. Dia merahasiakannya. Kita baru tahu kalau dia punya penyakit itu setelah dia seperti ini. Tante tidak tau kenapa dia merahasiakan penyakitnya itu, Rhe” lanjut wanita itu. “Tapi, Tan. Seminggu yang lalu kita sempet ngobrol banyak loh. Dan tadi juga…” Rhea mencoba membantah dengan apa yang sudah dia lihat. “Iya. Seminggu yang lalu memang dia terlihat tidak ada apa-apa.” jelas wanita itu. “Dia bicara apa saja ke kamu? Klo ada di rumah, dia jarang bicara. Dia hanya bicara dengan adik kecil nya. Apa dia cerita tentang penyakitnya ke kamu?” wanita itu penasaran. “Engga. Kami ngobrol tentang Angel, Tan. Di setiap kesempatan, dia selalu bicara tentang Angel. Dan juga, dia bilang ingin pergi. Tapi dia bilang mau pergi ke luar negeri. Emang bener dia rencana mau pergi keluar negeri, Tan?” wanita disampingnya hanya terdiam. Rhea bingung, kesal dan panik. Tapi dia harus tenang. “Kenapa loe rahasia-in ini, Van?” Rhea berfikir keras dalam hati.

“Bisa tolong jangan beritahu Angel, Rhe?” pernyataan wanita itu membuat lamunan Rhea pecah. “Hah? Kenapa emang, Tan?” gadis itu bingung. “Karena itu permintaan terakhir dia..” jawabnya, “.. kami tahu, selama ini dia mencoba mencari tau apa yang dirasakan Angel kepadanya. Kamu bisa lihat pesan singkat yang dia kirim ke Angel.” sambil memberikan telpon genggam Evan.

Rhea mengambil telpon genggam yang diberikan wanita itu. “Semuanya Angel. Entah apa yang ada dipikiran dia” wanita disamping Rhea berguman ketika Rhea melihat photo yang ada dilayar telpon. Gadis itu terpaku. Rhea membaca semuanya. Tidak ada satupun pesan yang di jawab oleh Angel. Dan beberapa saat kemudian..

Oh, won’t you stay with me?
‘Cause you’re all I need
This ain’t love it’s clear to see
But darling, stay with me

Tiba-tiba telpon genggam yang dipegang Rhea berbunyi.

“My Angel”

Nama yang muncul dilayar.

Leave a comment