[Chap. 8] Learning To Live with Pride

“Takahiro, bangun!” panggil ibunya. Takahiro kecil hanya menggeliat saja.”Ayo bangun, Taka! Nanti kamu telat sekolah.” lanjut ibunya.

“Aaayah..Takahiro malas bangun nih. Coba kamu kesini.” Ibu Takahiro kecil memberitahukan suaminya.

“Takahiro Mizaki. Ayo bangun.” perintah ayahnya. “Aku malas sekolah, yah” jawab Takahiro kecil dengan polos. “Jangan begitu. Ayo cepat bangun. Kita akan berangkat bersama.” sambil mengangkat dan menggendong Taka kecil kepundaknya, ayahnya membawa Takahiro kecil ke kamar mandi. “Ah, ayah. Aku masih mengantuk.” Takahiro kecil protes. “Sudah, ayo berdiri” ayahnya melepaskan pakaian Takahiro kecil, satu persatu.

“Dingin, yah” Takahiro kecil mengeluh karena memang saat itu cuaca cukup dingin. Ayahnya hanya tersenyum dengan sedikit tertawa.

Selesai mandi. Ayahnya pun membantu dia mengenakan seragam. Berdua mereka menuju meja makan, tempat dimana ibunya sudah menunggu. “Wah! Ini pasti telur mata sapi buatan ayah” Taka kecil melihat telur kesukaan sudah berada diatas piring. “Telur mata sapi buatan ayah memang enak. Beda sama buatan ibu.” sambil melahap makanannya. Ayah dan ibunya saling pandang dan hanya tersenyum.

“Ayo cepat pakai sepatumu, Taka. Ayah tunggu di depan yah.” ucap ayahnya sesaat setelah mencium kening istrinya. “Aku berangkat dulu yah, bu” sambil melambaikan tangan ke istri tercintanya.

“Aku berangkat yah, bu” kata si Taka kecil. Dan berjalan menghampiri ayahnya.

Setiap hari, ayahnya selalu mengantarkan dia ke sekolah dan menjemputnya setelah itu.

Saat itu adalah hari-hari yang indah untuk Takahiro kecil.


Tak terasa sudah 1 tahun berlalu sejak meninggalnya sang ayah. Pahlawannya.


Di pagi ini… Seperti biasanya…

“Takahiro, bangun. Nanti kamu ditinggal saudara kamu yang lain bila tidak segera bangun.”

“Baik, tante.” Takahiro kecil mencoba berdiri untuk segera mandi.

Takahiro kecil hidup bersama tantenya sekarang, adik dari ayahnya. Mereka tinggal dirumah neneknya. Ayahnya memiliki 3 orang adik perempuan yang masih kecil. Yang terakhir, masih seusia Takahiro. Kurang lebih, beda 1-2 tahun lebih muda dibandingkan si Taka kecil.

Di rumah neneknya. Takahiro kecil dirawat oleh nenek dan tantenya. Disana Takahiro kecil sekolah di sekolah yang sama dengan saudaranya. Walaupun beda 1-2 tahun tapi mereka belajar di kelas yang sama. Karena masalah dirumahnya, keluarga neneknya tidak ingin dia jauh dari saudara-saudaranya.

Setiap hari mereka kesekolah dengan jalan kaki. Karena dari rumah neneknya ke sekolah memang tidak terlalu jauh.

“Aku harus melakukan ini..! Aku harus bisa bertahan disini..!
Aku tidak ingin kembali lagi kesana..!”

Itulah yang selalu dipikirkan Takahiro kecil setiap harinya.

“Takahiro, bangun!!” panggil ibunya. “Sebentar, bu. 5 menit lagi.” sambil menggeliat. “Cepat bangun, Takahiro!!” sambil menghampiri si Taka kecil. “Iya, bu. Seben….” belum selesai Takahiro kecil bicara. Ibunya sudah disampingnya. Menarik lengannya dengan keras dan menyeretnya ke kamar mandi.

Takahiro masih terlihat mengantuk, tak kuat berdiri. Ibunya langsung mengambil gayung dan menyiramnya.

“Ibu, dingin!” teriak Takahiro kecil. “Jangan protes. Ibu sudah memasak air buat kamu mandi. Kamu sulit bangun, sampai airnya kembali dingin.” jelas ibunya.

“Sudah! Lanjutkan mandi sendiri..!” sambil meninggalkan Takahiro kecil dikamar mandi.

Takahiro menyelesaikan membersihkan diri, lalu menuju ke kamar dan memakai seragam sekolah. Sendiri.

“Sarapan sudah ibu siapkan. Cepat kemari.” sambil duduk dimeja makan, ibunya memanggil si Taka kecil.

“Telur mata sapi apa ini? Rasanya beda dengan buatan ayah” Takahiro kecil mengomentari makanan yang ada di depannya.

Hening.

Takahiro kecil melihat ibunya perlahan. Dilihat ibunya sedang memandangi dengan tatapan yang tajam. Seperti singa ingin memakan mangsanya. “Kamu bilang apa?” ibunya coba menyindir ucapan Takahiro kecil. Takahiro kecil langsung menundukkan kepala, lalu menjawab. “Ti..ti..tidak, bu. Maksudku….” ibunya memukul meja, membuat Takahiro kecil menghentikan perkataannya. Dan Takahiro kecil memakan telur mata sapi di depannya dengan lahap. Takahiro kecil ketakutan.

Itulah yang dirasakan Takahiro kecil setelah setengah tahun ditinggalkan oleh ayahnya.

6 bulan sebelum hari ini dan 6 bulan setelah kepergian ayahnya. Tepatnya setengah tahun yang lalu, Takahiro merasakan bahwa :

“Hidup itu tidak adil. Kenapa orang sebaik ayah selalu lebih dulu meninggal?”

One Comment Add yours

  1. Morbid Angel says:

    Nicely done, Boe…

    Liked by 1 person

Leave a comment